Berdo’alah kepada Allah niscaya Allah akan mengabulkan do’amu.’”[Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3476) dan Abu Dawud (no. 1481)]

Friday, November 13, 2020

Memohon Ilmu Yang Bermanfaat

 عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً »

Dari Ummu Salamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a setelah shalat Shubuh seusai salam, 

Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’a wa rizqon thoyyibaa, wa ‘amalan mutaqobbalaa

 (Ya Allah, aku meminta pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amalan yang diterima)”.

 (HR. Ibnu Majah no. 925. Al Hafizh Abu Thohir dan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

Saturday, October 31, 2020

Doa Perlindungan Dari Godaan Syetan, Binatang Beracun, Pegaruh 'Ain

 أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ

“‘Audzu bi kalimaatillahit taammati min kulli syaithonin wa haammatin wa min kulli ‘ainin laammatin (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari godaan setan, binatang beracun dan dari pengaruh ‘ain yang buruk).” 

(HR. Bukhari, no. 3371)

Sunday, October 25, 2020

Berlindung Dari Tidak Khusyu,Doa Tidak Didengar,Jiwa Tidak Puas,Ilmu Tidak Bermanfaat

 اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَ مِنْ دُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ وَ مِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَؤُلاَءِ الْأَرْبَعِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyu’, dari doa yang tidak didengar, dari jiwa yang tidak puas dan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Aku berlindung dari empat hal itu kepada-Mu.” 

(HR. Tirmidzi dan Nasa’i dari Ibnu ‘Amr, dan diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Hakim dari Abu Hurairah, dan Nasa’i dari Anas, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1297).

Sunday, October 20, 2019

Doa Memohon Kelurusan Dan Petunjuk

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyuruh ‘Ali Radhiyallahu anhu untuk memohon kepada Allâh Azza wa Jalla kelurusan (ketepatan) dan petunjuk.

اَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ وَسَدِّدْنِيْ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أسْأَلُكَ الْهُدَى وَالسَّدَادَ

Ya Allâh! Berilah petunjuk kepadaku dan luruskanlah diriku. Ya Allâh! Sesungguhnya aku memohonkan petunjuk dan kelurusan kepada-Mu

Shahih: HR. Muslim, no. 2725 [78]

Saturday, July 28, 2018

Doa Meminta Kemenangan

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamuh g . Beliau berdoa meminta kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala agar diberi kemenangan.

فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ ﴿١٠﴾ فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ

Maka dia mengadu kepada Rabbnya, “bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku).” Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. [Al-Qamar/ 54: 10-11]

Lihat pula firman Allâh dalam Surat al-Anfâl:

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ

(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” [Al-Anfâl/ 8: 9]

Monday, January 22, 2018

Doa Terhindar Dari Bahaya Di Suatu Tempat

عَنْ خَوْلَةَ بِنْتِ حَكِيمٍ السُّلَمِيَّةَ رضي الله عنها قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ: (أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ) لَمْ يَضُرَّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ .. رواه مسلم.

Dari ‘Khaulah bintu Hakim as-Sulamiyyah Radhiyallahu anhuma beliau berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang singgah/menempati suatu tempat lalu dia membaca (dzikir)


 “أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ 

A’ûdzu bikalimâtillâhit tâmmâti min syarri ma khalaqa “ (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allâh yang sempurna dari kejahatan yang ada pada makhluk-Nya), maka tidak ada sesuatupun yang akan mengganggu/membahayakannya sampai dia pergi dari tempat itu”[1].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan orang yang mengucapkan dzikir ini ketika singgah/menempati suatu tempat, karena dia akan terjaga – dengan izin Allâh Azza wa Jalla – dari gangguan makhluk yang ada di tempat tersebut sampai dia meninggalkannya.

Imam al-Qurthubi berkata: “Hadits ini adalah berita yang sah dan ucapan yang benar, kita mengetahui kebenarannya berdasarkan argumentasi (hadits ini) dan percobaan (pengalaman). Sungguh sejak mendengar hadits ini aku selalu mempraktekkannya, maka tidak ada sesuatupun yang mencelakakanku, sampai ketika aku meninggalkannya (lupa mengamalkannya). Suatu malam di al-Muhaddabah aku disengat seekor kalajengking, maka aku merenungkan (kejadian yang menimpa) diriku ini, maka aku ingat bahwa aku telah lupa membaca perlindungan dengan kalimat (dzikir) ini” [2].

Beberapa Faidah Penting Yang Dapat Kita Petik Dari Hadits Ini:

1. Hadits ini termasuk dalil yang menunjukkan bahwa al-isti’adzah (memohon perlindungan) adalah termasuk ibadah besar yang semestinya hanya pantas diserahkan kepada Allâh Azza wa Jalla semata dan tidak boleh ditujukan kepada makhluk apapun, maka memalingkan ibadah ini kepada makhluk adalah termasuk perbuatan syirik besar (menyekutukan Allâh) yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam [3].

2. Wajib untuk selalu bersandar dan berserah diri kepada Allâh Azza wa Jalla dalam semua keadaan, dan ini merupakan sebab kecukupan dan penjagaan dari-Nya kepada hamba-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allâh niscaya Allâh akan mencukupkan (segala keperluan)nya” (QS. Ath-Thalâq/65:3).

3. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan dzikir-dzikir seperti ini untuk memohon perlindungan kepada-Nya sebagai bantahan kepada orang-orang di masa jahiliyyah yang selalu memohon perlindungan kepada jin-jin penunggu tempat-tempat tertentu yang akan mereka lalui [4].

4. Keutamaan yang disebutkan dalam hadits ini berlaku bagi orang yang mengucapkan dzikir ini dengan memahami kandungan maknanya dan meyakininya [5].

5. Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang singgah/menempati suatu tempat…” artinya umum berlaku bagi orang yang singgah di tempat tersebut sebentar/sementara atau menempatinya untuk seterusnya [6].

6. Demikian pula sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “…maka tidak ada sesuatupun yang akan mengganggu/ membahayakannya sampai dia pergi dari tempat itu” artinya umum meliputi semua bentuk gangguan yang membahayakan, dari syaithan jin dan manusia (orang-orang yang jahat), juga binatang-binatang buas yang terlihat maupun tidak [7].

7. Adapun makna “kalimat-kalimat Allâh yang sempurna” adalah al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Harawi dan para ulama lainnya [8].

8. Hadits ini juga merupakan salah satu dalil kuat yang menunjukkan benarnya aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa al-Qur’an adalah firman (perkataan) Allâh Azza wa Jalla dan bukan makhluk, karena berlindungan kepada makhluk tidak diperbolehkan dalam Islam bahkan termasuk perbuatan syirik besar. Firman Allâh Azza wa Jalla adalah termasuk sifat-Nya yang ada pada Dzat-Nya, dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan sempurna bukanlah makhluk [9].

9. Lafazh dzikir ini juga disyariatkan untuk dibaca di waktu sore sebanyak tiga kali sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang shahih [10].

Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XX/1437H/2017M.]
_______
Footnote
[1] HSR Muslim (no. 2708).

[2] Dinukil oleh Syaikh ‘Abdur Rahman bin Hasan Alu Syaikh dalam kitab Fathul Majîd (hlm 198).

[3] Lihat kitab Fathul Majîd (hlm 195) dan (hlm 197).

[4] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi (9/279) dan Fathul Majîd (hlm 197).

[5] Lihat kitab Bahjatun Nâzhirîn (2/219).

[6] Lihat kitab al-Qaulul Mufîd (1/253).

[7] Lihat kitab al-Qaulul Mufîd (1/254).

[8] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi (9/279).

[9] Lihat kitab Fathul Majîd (hlm 198) dan Bahjatun Nâzhirîn (2/219).

[10] HSR Muslim (no. 2709) dan Ahmad (2/290).

====================


اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا عَمِلْتُ، وَمِنْ شَرِّ مَا لَمْ أَعْمَلْ

Ya Allâh, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang aku kerjakan, dan dari keburukan apa yang belum aku lakukan.


Farwah bin Naufal al-Asyja’i pernah berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang doa yang biasa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan kepada Allâh Azza wa Jalla. Aisyah menjawab, Beliau biasa berdoa: lalu Aisyah Radhiyallahu anhuma menyebutkan doa tersebut di atas. [HR. Muslim]





Tuesday, January 2, 2018

Berdo’alah Kepada-Ku Niscaya Akan Aku Kabulkan!

Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA

Berdo’a dan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla adalah sifat hamba-hamba-Nya yang shalih dan dengannya mereka dipuji dalam banyak ayat al-Qur’an.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdo’a kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah) [Al-Anbiyâ’/21: 90].

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla memuji hamba-hamba-Nya yang shalih dalam firman-Nya:

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya (karena mereka selalu mengerjakan ibadah dan shalat ketika manusia sedang tertidur di malam hari), sedang mereka berdo’a kepada Allâh dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka [As-Sajdah/32:16].

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman tentang sifat-sifat ‘Ibadur Rahman (hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla yang MahaPemurah):

وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا ﴿٦٤﴾ وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ ۖ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا

Dan mereka adalah orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan beribadah kepada Rabb mereka (Allâh Azza wa Jalla ). Dan mereka berdo’a: Ya Rabb kami, jauhkan kami dari azab (neraka) Jahannam, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal [Al-Furqân/25:64-65].

Mereka selalu berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla karena mereka mengetahui dan meyakini bahwa semua kebaikan dunia dan akhirat ada di tangan-Nya, semua kebutuhan manusia hanya Dia-lah yang maha kuasa memenuhinya, serta semua keburukan yang ditakutkan menimpa mereka hanya Dia Azza wa Jalla yang maha mampu mencegahnya. Maka dengan keyakinan ini, mereka selalu berdo’a dan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla di semua waktu dan keadaan, karena kunci untuk membuka pintu-pintu kebaikan yang ada di tangan Allâh Azza wa Jalla adalah dengan sungguh-sungguh memohon dan meminta kepada-Nya.

Imam Mutharrif bin ‘Abdillâh bin asy-Syikhkhîr rahimahullah berkata: “Aku mengingat-ingat apakah penghimpun segala kebaikan, karena kebaikan itu banyak; puasa, shalat (dan lain-lain). Semua kebaikan itu ada di tangan Allâh Azza wa Jalla , maka jika kamu tidak mampu (memiliki) apa yang ada di tangan Allâh Azza wa Jalla kecuali dengan memohon kepada-Nya agar Dia memberikan semua itu kepadamu, maka berarti penghimpun (semua) kebaikan adalah berdo’a (kepada Allâh Azza wa Jalla )” [1].

Senada dengan ucapan di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya berdo’a (kepada Allâh ) adalah kunci (pembuka) segala kebaikan” [2].

AGUNGNYA KEDUDUKAN DO’A

Kedudukan do’a dalam Islam sangat agung, keutamaannya sangat besar dan kemuliaannya sangat tinggi, karena do’a merupakan ibadah yang paling agung dan ketaatan yang paling tinggi. Oleh karena itu, banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan kedudukannya yang agung dan tinggi, serta keutamaan yang besar bagi orang yang selalu mengerjakannya [3].

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabbmu berfirman:“Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku (berdo’a kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina [Al-Mu’min/Ghafir/40: 60].

Dalam sebuah hadits yang shahih, dari an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berdo’a adalah ibadah”, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat di atas [4]. Maka maksud ibadah dalam ayat di atas adalah berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla .

Ayat yang mulia ini menunjukkan agungnya karunia dan rahmat Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, karena Dia Azza wa Jalla memotivasi mereka untuk selalu berdo’a kepada-Nya, yang itu merupakan kunci kebaikan diri mereka di dunia dan akhirat, dan Dia Azza wa Jalla menjanjikan pengabulan do’a mereka.

Bahkan di akhir ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memberikan ancaman keras bagi orang yang menyombongkan diri dan berpaling dari berdo’a kepada-Nya[5]. Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Sesungguhnya barangsiapa yang enggan untuk memohon kepada Allâh maka Dia akan murka kepadanya [6].

Kalau kita renungkan dengan seksama ayat yang mulia ini, kita akan dapati isyarat makna agung sehubungan dengan mulianya kedudukan berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla , yaitu bahwa orang yang paling dicintai Allâh Azza wa Jalla adalah orang selalu berdo’a dan memohon kepada-Nya, sebagaimana orang yang enggan berdo’a kepada-Nya maka dialah yang paling dibenci dan dimurkai-Nya.

Makna ini yang diungkapkan oleh Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah dalam ucapan beliau, “Wahai (Dzat) yang (menjadikan) hamba yang paling dicintai-Nya adalah yang berdo’a dan banyak memohon kepada-Nya. Wahai (Dzat) yang (menjadikan) hamba yang paling dibenci-Nya adalah hamba yang tidak mau berdo’a kepada-Nya. Tidak ada satupun yang bersifat seperti itu selain-Mu, wahai Rabb-ku” [7].

Oleh karena itu, taufik dari Allâh Azza wa Jalla yang merupakan sebab utama tercurahnya semua kebaikan dunia dan akhirat bagi seorang hamba, kunci utama untuk mendapatkannya adalah berdo’a dengan sungguh-sungguh dan memperlihatkan rasa butuh yang sangat kepada Allâh Azza wa Jalla .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kalau semua kebaikan asalnya (dengan) taufik yang itu adanya di tangan Allâh (semata) dan bukan di tangan manusia, maka kunci (untuk membuka pintu) taufik adalah (selalu) berdo’a, menampakkan rasa butuh, sungguh-sungguh dalam bersandar, (selalu) berharap dan takut (kepada-Nya). Maka ketika Allâh telah memberikan kunci (taufik) ini kepada seorang hamba, berarti Dia ingin membukakan (pintu taufik) kepadanya. Dan ketika Allâh memalingkan kunci (taufik) ini dari seorang hamba, berarti pintu kebaikan (taufik) akan selalu tertutup baginya” [8].

Bahkan lebih dari itu, berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla dengan merendahkan diri dan menampakkan rasa butuh kepada-Nya merupakan wujud al-‘ubudiyah (penghambaan diri) seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla, sekaligus merupakan pengakuan terhadap agungnya sifat rububiyah Allâh (menciptakan dan mengatur alam semesta beserta isinya) serta sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang lain.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allâh memerintahkan kepada hamba-Nya untuk berdo’a dan memohon kepada-Nya untuk menampakkan kedudukan al-‘ubudiyah (penghambaan diri), kebutuhan dan ketergantungan (hamba tersebut kepada Allâh Azza wa Jalla ), serta dalam rangka pengakuan agungnya (sifat) rububiyah (menciptakan dan mengatur alam semesta beserta isinya), sempurna kemahakayaan dan kemahaesaan-Nya dalam (melimpahkan) karunia dan kebaikan (kepada hamba-hamba-Nya), dan bahwa sungguh seorang hamba tidak akan bisa terlepas dari kebutuhan kepada (limpahan) karunia-Nya meskipun (hanya) sekejap mata” [9].

Maka berdo’a kepada Allâh Azza wa Jalla dengan memperlihatkan ketundukkan dan ketergantungan kepada-Nya adalah sebab perhatian dan pemuliaan Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-hamba-Nya [10], sebagaimana dalam firman-Nya:

قُلْ مَا يَعْبَأُ بِكُمْ رَبِّي لَوْلَا دُعَاؤُكُمْ ۖ فَقَدْ كَذَّبْتُمْ فَسَوْفَ يَكُونُ لِزَامًا

Katakanlah: “Rabbku tidak mengindahkan kamu, kalau kamu tidak berdo’a (dan beribadah kepada-Nya). (Tetapi bagaimana kamu beribadah kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya, karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu) [Al-Furqân/25:77].

Dalam hadits-hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang agungnya kedudukan do’a:

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seutama-utama ibadah adalah berdo’a”[11].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada sesuatupun yang lebih mulia bagi Allâh daripada do’a” [12].

Semua dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa do’a adalah ibadah yang paling utama, bahkan merupakan asas dan ruh ibadah. Hal ini disebabkan adanya beberapa keistimewaan yang terdapat di dalam do’a, di antaranya:

1. Sesungguhnya di dalam do’a terdapat sikap merendahkan diri, memperlihatkan kebutuhan dan ketergantungan kepada Allâh Azza wa Jalla .

2. Sesungguhnya ibadah akan semakin sempurna dan tinggi keutamaannya ketika hati semakin khusyu’ dan pikiran semakin fokus, sedangkan do’a merupakan ibadah yang paling dekat untuk meraih tujuan agung ini, karena kebutuhan dan ketergantungan seorang hamba akan menjadikan hatinya lebih khusyu’ dan fokus.

3. Sesungguhnya do’a mengandung konsekuensi sifat tawakal (penyandaran hati yang benar kepada Allâh Azza wa Jalla untuk meraih kebaikan dan mencegah keburukan) dan memohon pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla , yang keduanya merupakan ruh ibadah dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla [13].

MAKNA DO’A DAN MACAMNYA

Secara bahasa, do’a berarti mencondongkan (memalingkan) sesuatu kepadamu dengan suara dan ucapan darimu [14].

Adapun secara syar’i, berdoa adalah bermunajat (berucap dengan suara yang pelan) kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menyeru-Nya untuk memohon sesuatu (kebaikan) dan menolak sesuatu (keburukan) [15].

Atau makna yang lebih lengkap: menyeru kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ucapan yang mengandung permohonan dan sanjungan kepada-Nya dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna [16].

Para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah membagi do’a menjadi 2 macam [17]:

1. Do’a permohonan, inilah macam do’a yang sedang kita bahas dalam tulisan ini.

2. Do’a ibadah dan sanjungan, yang ini meliputi semua jenis ibadah yang disyariatkan dalam Islam, lahir dan batin. Misalnya: shalat, puasa, berdzikir, berkurban, takut, berharap, bertawakal, mencintai dan ibadah-ibadah lainnya [18].

Dalam hadits shahih yang telah kami sebutkan di atas, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berdo’a adalah ibadah” [19]

Hadits ini menunjukkan bahwa do’a adalah ibadah agung yang merupakan hak Allâh Azza wa Jalla yang murni, dan ini mencakup dua macam do’a yang disebut di atas. Maka memalingkan ibadah ini kepada selain Allâh Azza wa Jalla atau menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk di dalamnya adalah termasuk perbuatan syirik besar yang menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam yang mulia ini, na’uudzu billahi min dzaalik.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali hanya untuk menyembah Ilah (sembahan yang benar, Allâh ) Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (sembahan yang benar) selain Dia. Maha suci Allâh dari apa yang mereka persekutukan [At-Taubah/9:31].

Dalam ayat lain, Dia Azza wa Jalla juga berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَدْعُو رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا

Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya berdo’a (beribadah) kepada Rabb-ku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya [Al-Jinn/72:20].

Dan ayat-ayat lain dalam al-Qur’an yang menjelaskan larangan keras memalingkan do’a kepada selain Allâh Azza wa Jalla atau menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk di dalamnya. Ayat-ayat tersebut sangat banyak dan beragam kandungannya, untuk menggambarkan besarnya keburukan perbuatan syirik ini dan sangat kerasnya ancaman bagi yang melakukannya, wal’iyaadzu billah. Sampai-sampai salah seorang Ulama Ahlus Sunnah berkata, “Kita tidak mengetahui jenis kekufuran dan kemurtadan yang disebutkan dalam dalil-dalil (dari al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam) seperti (keburukan) yang disebutkan (dalam dalil-dalil tersebut) tentang berdo’a kepada selain Allâh, berupa larangan (yang keras) dari perbuatan tersebut, peringatan untuk menjauhinya, dan ancaman (keras) bagi yang melakukannya” [20].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XX/1438H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab “az-Zuhd” (no. 1346).

[2] Kitab “Majmuu’ul fata-wa” (10/661).

[3] Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdur Razzaq al-Badr dalam kitab “Fiqhul ad’iyati wal adzkâr” (2/7).

[4] HR Abu Dawud (no. 1479), at-Tirmidzi (5/211), Ibnu Majah (no. 3828) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.

[5] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (4/109) dan “Taisîrul Karîmir Rahmân” (hlm. 740).

[6] HR at-Tirmidzi (no. 3373) dan al-Hakim (1/667), dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.

[7] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (4/109).

[8] Kitab “Al Fawa-id” (hlm. 133- cet. Muassasah ummil Qura, Mesir 1424 H).

[9] Kitab “Madârijus sâlikîn” (3/102).

[10] Lihat kitab “Taisîrul Karîmir Rahmân” (hal. 587).

[11] HR. Al-Hakim (1/667), dinyatakan shahih oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab “Silsilatul ahâ-dîtsidh dha’îfati wal maudhû’ah” (no. 1579).

[12] HR. At-Tirmidzi (5/455), Ahmad (2/362), Ibnu Hibban (3/151) dan al-Hakim (1/666), dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan al-Hakim, serta dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.

[13] Lihat kitab “Fiqhul ad’iyati wal adzkâr” (2/13).

[14] Kitab “Mu’jamu maqa-yîsil lugah” (2/228).

[15] Lihat keterangan Imam Abu Hayyan al-Andalûsi dalam kitab tafsir beliau “al-Bahrul muhîth” (5/361).

[16] Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmû’ul fatâwa” (15/19) dan Imam Ibnul Qayyim dalam “Bada-i’ul fawa-id” (3/521).

[17] Lihat keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmû’ul fatâwa” (10/258), Imam Ibnul Qayyim dalam “Jalâul afhâm” (hlmn. 155) dan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di dalam “Taisîrul Karîmir Rahmân” (hlmn 87).

[18] Lihat keterangan Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di dalam “Taisîrul Karîmir Rahmân” (hlmn 257 dan 415).

[19] HR Abu Dawud (no. 1479), at-Tirmidzi (5/211), Ibnu Majah (no. 3828) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.

[20] Lihat kitab “Fiqhul Ad’iyati Wal Adzkâr” (2/39-40).